Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Sasaran Ketiga Belas

Oleh : Heri ST Mata laki-laki tua itu melotot. Sebelum pipinya mengendur. Darah muncrat dari keningnya yang hitam. Seorang laki-laki muda membuka penutup wajahnya. Lalu membanting pistol ke perut sang korban. Dia berbalik dan duduk di meja makan. Hujan turun lebih deras.. *** Sejak Soeharto mundur dari jabatan, hidup tak kunjung berubah. Kusno masih menjalani profesi lama. Sebagai pembunuh bayaran. Selain karena susahnya cari kerja, ia juga merasa tak perlu susah payah menghidupi diri. Hidupnya bisa diatur hanya dengan menghentikan hidup orang lain. Kematian adalah denyut nadi untuk hidupnya. Sekali membunuh, ia bisa bertahan hidup untuk satu atau dua tahun. Kalaulah ia bisa lebih hemat –tak perlu lagi berjudi atau sewa PSK—pasti uang bayarannya sudah cukup untuk bekal sepanjang hidup. Dia tak perlu lagi membunuh untuk ketiga belas kalinya. Kusno sudah berjanji. Ia tak akan membunuh lebih dari tiga belas kali. Entah berjanji pada Tuhan, atau berjanji pada dirinya se

RESENSI NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARANGAN EKA KURNIAWAN :KONSTRUKSI TOKOH PEREMPUAN DALAM MELAWAN BUDAYA PATRIARKI

Oleh: Heri Samtani Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kehidupan sosial tidak pernah lepas dari wacana kolonialisme, relasi kuasa, budaya patriarki, dan isu sosial lainnya, termasuk persoalan gender.  Hal ini terefleksi lewat karya sastra. Isu kesetaraan gender menjadi topik menarik di kalangan sastrawan perempuan. Sebagai dampak dari feminisme gelombang kedua yang merambah di ranah sastra, bermunculan karya sastra yang berhaluan resistensi terhadap budaya patriarki. Di Indonesia, isu gender yang mengedepankan aspek feminism terdapat pada karya-karya Ayu Utami, antara lain: Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Djenar Maesa Ayu: Mereka Bilang, Saya Monyet (2002), Nayla (2005), 1 Perempuan 14 Laki-laki (2011), Ratna Indraswari: Cerpen Perempuan Itu Cantik (1992), Baju (2004), Laksmi Pamuntjak: Amba (2012), Aruna dan Lidahnya (2014), dan Leila S. Chudori: Pulang (2013). Nenden (2012: 114), seorang akademisi sastra mengataka