Sasaran Ketiga Belas


Oleh : Heri ST

Mata laki-laki tua itu melotot. Sebelum pipinya mengendur. Darah muncrat dari keningnya yang hitam. Seorang laki-laki muda membuka penutup wajahnya. Lalu membanting pistol ke perut sang korban. Dia berbalik dan duduk di meja makan.
Hujan turun lebih deras..

***

Sejak Soeharto mundur dari jabatan, hidup tak kunjung berubah. Kusno masih menjalani profesi lama. Sebagai pembunuh bayaran. Selain karena susahnya cari kerja, ia juga merasa tak perlu susah payah menghidupi diri. Hidupnya bisa diatur hanya dengan menghentikan hidup orang lain. Kematian adalah denyut nadi untuk hidupnya. Sekali membunuh, ia bisa bertahan hidup untuk satu atau dua tahun. Kalaulah ia bisa lebih hemat –tak perlu lagi berjudi atau sewa PSK—pasti uang bayarannya sudah cukup untuk bekal sepanjang hidup. Dia tak perlu lagi membunuh untuk ketiga belas kalinya.

Kusno sudah berjanji. Ia tak akan membunuh lebih dari tiga belas kali. Entah berjanji pada Tuhan, atau berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan membunuh sekali lagi. Bisa jadi pejabat publik, pengusaha, rektor, atau penyidik KPK, tergantung pesanan dari Pak Pur. Setelah menjalankan tugas terakhir, dia bakal pensiun. Gantung pistol. Bukan karena dia takut jadi buron dan bakal kena tangkap polisi. Itu hal yang gampang diatur, wong yang nyuruh dia begini-begitu juga dari kalangan penguasa. Kusno bebas dari ancaman penjara. Dia mau pensiun lantaran mau mengejar cintanya yang hilang. Dia mencari istrinya yang kabur sejak era orde baru. Dia tak peduli istrinya sudah menikah lagi apa belum. Yang penting bisa pamer kekayaan. Lantas berharap istrinya bakal luluh dan mau diajak balikan.

Jam 12 malam, Kusno disuruh temui Pak Pur di daerah Serpong. Di sana sudah ada seorang anak Kopasus. Katanya minta tolong bunuh seorang pengusaha. Pengusaha ini sebetulnya masih pengusaha kelas teri. Dia punya usaha batik Pekalongan. Bukan usahanya yang jadi ancaman di kalangan pemilik modal. Tapi manuvernya yang gila, untuk ukuran seorang ema-ema usia 40-an.

 “Dia menyokong aktivitas sastra.”

“Haah? Apaan?” Kusno gagal paham.

“Dia bikin perkumpulan. Isinya orang-orang yang suka nulis. Salah satu karangan berjudul Sebelum Senapan Dikokang bikin geram banyak tentara. Isinya kritik soal duit pelicin tes akademi militer.”
Kusno masih kurang paham.

Beberapa saat kemudian, dia disodori sebuah foto. Matanya melotot. Dia tak melihat tanda bahaya apa pun, sebelum akhirnya memori Kusno mulai bekerja. Foto itu tampak berteriak; aku istrimu yang hilang, monyet!

“Lusa. Temui dia di Sulawesi. Bunuh! Sampai modar. Polisi dan tentara setempat nggak bakal peduli. Dia musuh negara.”

***

Kusno tahu dia dalam masalah. Menolak tawaran rasanya tak mungkin. Mau bilang kalau perempuan itu istrinya, malah bahaya besar. Dengan gagap, ia terima tawaran. Atau lebih tepatnya perintah. Mandat. Memang selama ini tak banyak pilihan. Pembunuh bayaran itu selalu manut-manut saja. Dia bisa membunuh orang dengan gampang, tapi tidak bisa membunuh belenggu yang mengekang kebebasan hidupnya. Kalau mau bebas, ya itu artinya bebas juga untuk diburu dan dibunuh sewaktu-waktu. Orang yang tahu banyak soal rahasia negara bisa jadi ancaman.

Kalau diukur dari jarum jam yang berdetak di tangannya, kurang dari tiga puluh menit lagi Kusno akan bertemu dengan istrinya. Sudah hampir tujuh tahun mereka berpisah. Kusno memang setia. Dia masih saja menyimpan perasaan yang dalam. Dia yakin betul istrinya meninggalkannya bukan karena tak cinta sama sekali, melainkan kesulitan hidup di era krisis moneter. Kalau sekarang perempuan itu tahu Kusno sudah punya cukup uang, tentu hatinya akan melunak. Tapi hidup memang kian berubah. Presiden sudah tiga kali berganti. Kusno masih saja jadi pembunuh. Istrinya sudah lebih mapan. Pengusaha batik! Kusno dan uang haramnya mana sanggup meluluhkan hati seorang perempuan berduit. Sekali pun mereka masih suami istri.

“Marni…” suaranya pelan. Perempuan bernama Marni itu terdiam dengan tatapan beku. Butuh waktu untuk meyakini keadaan bahwa dirinya sedang berhadapan dengan laki-laki yang selama ini ia sia-siakan.

“Mas Kusno..?”

“Kau masih mengenaliku.”

“Kamu kok di sini, Mas?”

“Ada urusan. Pekerjaan.”

“Sengaja mencariku?”

“Ah, jangan ge-er dulu. Tapi memang betul kok. Mumpung ada pekerjaan di Kendari, sekalian mampir ke mari. Eh, ketemu sama kamu.” Marni senyam-senyum. “Aku kangen banget loh sama kamu, Mar.”

“Aku juga, mas.”

“Ah, bohong!”

“Terserah sampeyan saja lah. Mau percaya apa tidak.”

***

“Kok kamu tega ninggalin aku sih Mar?”

“Aku ndak punya pilihan lain, mas.”

“Kan janji kita bakal terus bersama, dalam suka atau pun duka. Sekarang aku udah punya duit banyak loh. Beneran. Ya.. memang sih nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama harta kamu.”

“Bukan itu yang jadi soal, mas. Aku udah nikah lagi. Punya dua anak.”
Kusno tertunduk. Marni menatapnya iba.

“Jangan kecewa dulu mas, aku ini perempuan sialan. Biar kamu cari wanita lain. Kamu masih gagah, ganteng.”

Kusno tak menjawab. Pikirannya justru menggelayut pada benda jahanam di dalam tasnya. Mulai memperhitungkan untuk membunuh sasaran ketiga belasnya ini. Seorang pengusaha batik, yang masih istri sahnya. Tapi… AH! Mana bisa membunuh istri sendiri. Pake pistol pula. Tadinya, kalau memang terpaksa harus membunuh Marni, Kusno bakal mengajaknya ke Korea Selatan. Lalu mereka mati kedinginan diselimuti salju. Atau menceburkan diri ke laut Flores dengan kaki diikat jangkar. Kusno dan Marni bakal mati kehabisan nafas dengan tubuh saling berpelukan.
Kusno mengurungkan niatnya menghabisi nyawa Marni.

“Kok gelisah betul, Mas? Sampeyan pasti kesel sekali sama aku yo?”

“Lho? Ndak ah..!”

“Lalu?”
Kusno mengamati paras istrinya.

“Eh, diminum dulu Mas, es jeruknya.”

Kusno menurut. Setengah gelas ia habiskan. Lalu pandangannya mengarah ke luar restoran. Sedetik kemudian dia beranjak.

“Mas… kau mau ke mana?” Marni bangkit dari duduknya.

“Pulang!”

“Ke mana?”

“Jakarta.”

“Pekerjaanmu sudah beres?”

“Tidak jadi. Aku mau langsung pulang saja.”

“Lho?”

“Ni.. sinih kubisikkin.” Marni mendekatkan telinganya. Marno mengucapkan sesuatu dengan hati-hati. “Aku dikirim anak Kopasus, buat menghabisi nyawa kamu.”

“Edan!” Marni menarik tubuhnya. Dia tak heran soal rencana pembunuhan itu. Dia justru heran mengapa dia belaga tak tahu. Dua jam lalu sudah ada kliennya yang membeberkan rencana busuk itu.

“Aku ndak sanggup bunuh istri aku sendiri. Aku kasih tahu kamu ya Mar. Hati-hati kalo macem-macem sama negara. Kamu cari pelindungan dulu sementara. Jangan bikin ulah dulu. Aku bakal balik ke Jakarta, dan bilang kalo pekerjaan aku sudah selesai. Aku sudah berhasil bunuh kamu.”
Marni masih berkaca-kaca, menatap dalam ketulusan di balik bongkahan mata soerang laki-laki. Dia tak pernah melihatnya di mata laki-laki lain.

“Aku pamit dulu. Mungkin kita nggak akan ketemu lagi. Bisa jadi aku mati duluan. Atau aku bakal pindah-pindah tempat, nyari daerah yang aman buat sembunyi.”

“Mas..” Marni hendak menggapai lengan Kusno. Tapi Kusno cepat-cepat pergi. Dia menuruni tangga restoran, berlari menuju pinggir jalan. Marni mengejar tersaruk-saruk melawan belitan roknya yang sempit. Kusno menghentikan sebuah taksi. Cepat-cepat ia masuk ke dalam mobil itu. Marni mengetuk-ngetuk kaca mobil sambil berderai air mata. Kusno tak sedikitpun memandang wajah istrinya lagi. Taksi bergerak perlahan. Marni merasakan dadanya ditekan.

“MAS KUSNOOOOO!!”

Air mata ambyar di pipi Marni. Ia membayangkan kematian suaminya di belakang kursi kemudi.

***


Depok, 15 November 2019


Biodata Singkat
Heri Samtani (Nama Pena: Heri ST). Pria kelahiran 12 Juni 1994 yang tengah menempuh studi magister susastra Universitas Indonesia. Ia menempuh pendidikan S1-nya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.
Tahun 2010, ia tergabung dalam club Jurnalistik di SMKN 13 Jakarta. Dan pernah mengisi artikel di rubrik Kompas Muda Harian Kompas, dengan judul “Kembangkan Bakat Senimu”. Di tingkat ketiga, ia menjadi Redaktur Pelaksana penerbitan majalah Sekolah “KERTAS.” Karya novelnya diterbitkan secara indie berjudul Metafora Sunyi. Selain itu menerbitkan cerbung berjudul Serenade di Musim Dingin lewat lembaga pers kampus Nuraniku. Cerpennya berjudul Mencintai Kamu Tanpa Koma berhasil terpilih sebagai Juara Kedua Lomba Cipta Cerpen Nasional KSE EP Universitas Indonesia tahun 2019.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Tips Tembus Blokade LPDP

Laporan Pertanggungjawaban Juri Lomba Cipta Cerpen FLS Kota Depok

GET TO KNOW : READING SLUMP