Laporan Pertanggungjawaban Juri Lomba Cipta Cerpen FLS Kota Depok



“Mengelola keberagaman”, sebuah isu yang begitu dekat dengan masyarakat Indonesia. Menariknya, tema tersebut kemudian diolah dalam imajinasi para pengarang muda yang masih berstatus pelajar putih-biru. Menulis cerpen, tentu bukan perkara mudah. Banyak detail-detail yang harus diperhatikan. Teknik penulisan yang masih harus diasah, ide-ide cerita yang perlu digali lebih dalam, serta teknik pengembangan alur yang masih harus dipelajari lebih serius. Singkat kata, memang masih jauh dari kata matang. Namun, berbekal keberanian untuk mengarang sejak dini, dapat melesatkan potensi. Tinggal bagaimana potensi itu disiasati agar bisa tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dari pertambahan usia.

Secara keseluruhan, sepuluh naskah yang masuk babak final, telah menunjukkan bagaimana realitas dikembangkan dalam imajinasi anak. Alih-alih menulis cerita yang terkesan “cerita anak” atau cerpen khas “Majalah Bobo”, naskah yang masuk berhasil memotret kehidupan sosial Indonesia ke dalam sebuah cerita pendek. Begitu realis, dekat, dan penuh makna.

Beberapa kekurangan yang hampir ada di semua naskah, yaitu masih lemahnya rentetan alur. Kait-mengkait antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain masih penuh lubang. Termasuk mengkaitkan perwatakan dengan pengembangan alur juga masih lemah. Beberapa tersandung dengan kalimat yang kendor, atau dialog yang tidak natural. Paling fatal adalah pengembangan alur yang gagap logika, dan terlalu dibuat-buat agar terkesan dramatis. Hal yang juga menjadi sorotan, yaitu banyaknya nasihat-nasihat tersurat yang disampaikan oleh tokoh, atau lewat narasi. Salah satu keindahan sastra, justru terletak dari adanya upaya mengajak pembaca untuk menghayati kemanusiaan dengan cara-cara yang tersirat, tidak langsung, dan tentu saja, tidak menggurui. Narasi-narasi seperti: “Indonesia itu negara majemuk, kita tidak boleh mengejek-ngejek teman yang berbeda ras…..” Bentuk-bentuk seperti itu, yang harus dihindari dalam penulisan karya sastra. Bandingkan dengan kalimat berikut; “yang paling aku suka dari Nur, dia tidak pernah minder pergi ke kantin denganku, meski aku berkulit gelap.” Lebih elegan, kan? 

Isu etnis menjadi fokus utama dalam cerpen Kita Indonesia. Seorang keturunan Tionghoa, menjadi murid baru di  sekolah yang mayoritas keturunan asli Indonesia. Uniknya, penulis mengambil setting sekolah negeri di Bali, yang mengundang diskusi lebih lanjut; apakah di Bali masih banyak kasus diskriminasi? Salah satu kekuatan cerpen ini terletak dari narasi-narasi yang ringkas dan percepatan adegan, sehingga membacanya tidak lelah. Namun, penggambaran tokoh Ines yang berwatak antagonis tidak dibangun dengan kuat. Alasannya bertindak diskriminatif menjadi sebatas tempelan untuk menyisipkan konflik utama. Selain itu, sosok Nandita dan Arum; terlihat aneh. Bagaimana keduanya berempati pada tokoh utama, tanpa latar dan alasan kuat.

Pada Perbedaan Itu Indah, memiliki keunikan dalam menggambarkan sosok tokoh Pak Mamat, guru olahraga favorit. Naskah ini sebetulnya bisa menjadi kuat, asalkan fokus alurnya jelas. Apa yang sebetulnya ingin diungkapkan oleh penulis terkesan mengabur, meskipun intinya adalah tentang perbedaan agama. Namun, deskripsi agama pada pengenalan tokoh, bukan sesuatu yang menyenangkan. Peralihan dari pengenalan teman-teman tokoh utama ke adegan Oji bertengkar, merupakan salah satu lubang dalam cerpen ini.

Isu identitas juga menjadi hal yang menarik dalam cerpen Dia Berbeda. Uniknya, tokoh utama merupakan keturunan campuran Amerika-Papua. Namun, penggambaran latar konflik dalam cerpen ini masih lemah. Alasan mengapa tokoh Derlin diperlakukan sedemikian diskriminatif juga masih kurang kuat. Cerpen ini harusnya mengandalkan kekuatan penceritaan tokoh Derlin, seperti bentuk fisiknya, cara bicara, sikap, dan hal-hal lain yang menguatkan argumen; mengapa anak-anak tidak menerima Derlin? Itu yang tidak dikemas lebih dalam pada cerpen ini.

Setelah nyaris tiga jam proses penilaian, akhirnya dewan juri memilih lima naskah terbaik versi masing-masing. Terpilihlah naskah-naskah berikut; Di Balik Sebuah Kebaikan, Emas Segunung, Secarik Toleransi Adu Domba, Kisah Tak Bersampul, Glukosa Untuk Kehidupan, Lentera Sempena, dan Kerjasama di Sekolah. Salah satu ide cerita yang cukup berani digarap oleh pelajar SMP yaitu Kisah Tak Bersampul. Cerpen ini menceritakan tentang para mahasiswa yang sedang melakukan KKN. Sebuah latar cerita yang jauh sekali dari kehidupan pelajar SMP. Namun, digambarkan dengan baik oleh penulis. Hanya saja, beberapa bagian yang terlalu rumit, menjadi batu sandungan cerpen ini. Bukan hal mudah untuk menggambarkan tanah Toraja. Butuh riset mendalam, yang karena prasyarat itulah, cerpen ini kurang berhasil memukau dan tampil sebagai cerpen yang matang.

Pada Kerja Sama di Sekolah, penulis  masih berada di zona aman bercerita tentang sekolah, dan konflik yang biasa terjadi; pertengkaran antarteman. Cerpen ini memiliki potensi untuk berkembang secara lebih menarik, dinamis, dan dekat dengan keseharian penulis, tetapi masih kurang kuat dari segi konflik. Konflik yang disajikan masih sebatas pertengkaran biasa, belum memunculkan latar masalah yang lebih kompleks dan tidak biasa. Harus lebih berani mengembangkan imajinasi agar cerita bisa lebih bergerak hidup dan memberi kesan.

Pada Lentera Sempena, fokus cerita sudah sangat baik. Konflik, perwatakan, dan bagaimana menyelesaikan cerpen ini, sudah sangat baik. Namun sayang, penggambaran bagaimana seseorang meninggal karena covid-19 begitu di luar nalar. Seakan-akan wabah ini bisa dengan cepat ke tahap kematian. Alurnya tidak mengalir dengan lembut.

Glukosa untuk Kehidupan, merupakan salah satu yang berani dalam mengekspresikan gaya bahasa metafora pada judulnya. Cerpen ini mampu membuat rentetan konflik yang saling terkait kuat. Menjadikannya terlihat lebih berkesan dibanding cerita yang lain. Namun, lubang yang teramat dalam terjadi pada babak-babak akhir. Cerpen ini seperti dipaksa untuk terlihat dramatis, konflik bertumpuk dan akhiran yang melankolis, tapi malah menambah terjadinya gagap logika. Tentang menggadai barang, biaya operasi yang sepertinya mudah saja dipenuhi, dan sikap Dewi yang seolah tiada maaf, ketiga hal itu yang menghancurkan bangunan cerita yang padahal… sudah bagus di awal.

 

 

Setelah berdiskusi, akhirnya dewan juri menetapkan tiga naskah terbaik. Tempat ketiga, diraih oleh Emas Segunung.

Salah satu yang jadi masalah dalam menulis cerpen, adalah tentang memberi judul. Emas Segunung, barangkali salah satu yang berhasil dalam menentukan judul. Konfliknya berjalan dengan santai, seputar bahasa. Cerpen ini dikembangkan secara sederhana, penuh humor, dan tidak memiliki konflik yang berbelit. Hanya saja, pada babak akhir, cerita justru mengalami penurunan. Jalinan cerita di awal tidak dikembangkan secara lebih kompleks, sehingga cerpen ini tidak meninggalkan kesan yang dalam.   

Cerpen yang matang, salah satunya karena fokus cerita yang dijaga dengan baik oleh penulis. Itu terlihat dari Secarik Toleransi Adu Domba. Cerpen ini layak menjadi juara kedua. Konfliknya sederhana; bagaimana tarung domba dianggap sebagai tradisi masyarakat Garut, yang mau tidak mau, memang harus dihargai. Dari babak awal sampai dengan akhir, sebetulnya tidak ada alur yang menanjak. Singkat kata, tidak ada keseruan. Namun, karena penulis sangat baik dalam merangkai runtutan alur, membuat cerpen ini mendekati kata matang. Sajiannya pas. Akurasi pada detail-detail cerita juga diperhitungkan dengan baik. Menjadikan cerpen ini layak mendapat tempat di hati dewan juri.

Tidak kalah menarik dari cerpen Secarik Toleransi Adu Domba, menyinggung isu covid-19, Di Balik Sebuah Kebaikan, menjadi satu-satunya cerpen yang mendapat kemenangan mutlak. Tanpa adu debat oleh dewan juri. Bukan karena topiknya yang hangat; corona. Melainkan sajian narasi dan dialog yang rapi dari awal sampai akhir. Cerpen ini jauh melampaui cerpen-cerpen terbaik di bawahnya. Kekuatan alur, saling keterkaitan antarperistiwa, dan kemampuan membangun karakter tokoh, menjadikan cerpen ini sebagai cerpen yang matang. Hanya saja, pada bagian babak akhir, seperti ingin cepat-cepat menuntaskan cerita, sehingga alur terasa tergesa-gesa dan tidak menyenangkan untuk dibaca. Meski begitu, adalah pemakluman yang sangat mendasar, bahwa usia-usia pelajar SMP memang masih dalam tahap proses menuju kematangan.

Pada akhirnya, kecintaan pada literasi yang akan membuktikan, siapa dari sepuluh peserta, yang nantinya akan benar-benar menjadi penulis hebat Indonesia; menjadi sastrawan besar. Tugas penting di depan adalah mengasah terus kemampuan menulis fiksi. Jangan berhenti hanya sebatas lomba dan kompetisi. Tentu, masih harus banyak berlatih, untuk mencapai kematangan. Menulis adalah sebuah skill yang harus diasah seumur hidup. Yang penting, jangan pernah bosan untuk menulis.

Terakhir dari saya, impian dan realita hanya dipisahkan oleh momentum. Hari ini Anda kalah, lain waktu tentu bisa menjadi juara. Bersabarlah… menanti momentum itu.

 


Jakarta, 17 September 2020

Salam Hangat,

 

Heri Samtani

Juri Cipta Cerpen FLS Kota Depok

 

 

Sumber gambar: https://www.kompasiana.com/fakhrialfarizi/5c81cf7caeebe15ba8101fb3/sastra-untuk-masyarakat

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Tips Tembus Blokade LPDP

GET TO KNOW : READING SLUMP