RESENSI NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARANGAN EKA KURNIAWAN :KONSTRUKSI TOKOH PEREMPUAN DALAM MELAWAN BUDAYA PATRIARKI


Oleh: Heri Samtani
Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Kehidupan sosial tidak pernah lepas dari wacana kolonialisme, relasi kuasa, budaya patriarki, dan isu sosial lainnya, termasuk persoalan gender.  Hal ini terefleksi lewat karya sastra. Isu kesetaraan gender menjadi topik menarik di kalangan sastrawan perempuan. Sebagai dampak dari feminisme gelombang kedua yang merambah di ranah sastra, bermunculan karya sastra yang berhaluan resistensi terhadap budaya patriarki. Di Indonesia, isu gender yang mengedepankan aspek feminism terdapat pada karya-karya Ayu Utami, antara lain: Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Djenar Maesa Ayu: Mereka Bilang, Saya Monyet (2002), Nayla (2005), 1 Perempuan 14 Laki-laki (2011), Ratna Indraswari: Cerpen Perempuan Itu Cantik (1992), Baju (2004), Laksmi Pamuntjak: Amba (2012), Aruna dan Lidahnya (2014), dan Leila S. Chudori: Pulang (2013).

Nenden (2012: 114), seorang akademisi sastra mengatakan bahwa meskipun feminisme berasal dari Barat, namun kondisi penindasan atas perempuan tidak hanya terdapat di Barat, tetapi juga terjadi dalam lingkup lokal. Artinya, kesadaran mengenai kesetaraan tidak hanya milik Barat, tetapi juga milik masyarakat yang ada di Timur. Oleh karena itu, pendiskriminasian laki-laki terhadap perempuan tersebut banyak tercermin dalam karya-karya sastra Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan peran karya sastra yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk menceritakan sebuah peristiwa, benda, apa pun, atau dengan kata lain untuk mengonstruksi realitas.

Pergerakan feminisme yang merambat ke dunia sastra juga memiliki hubungan dengan peran feminisme dalam diri pengarang dan peran feminisme yang dapat tercermin dalam sebuah tokoh cerita. Cerminan feminisme dalam sebuah tokoh cerita dapat terlihat ketika seorang tokoh cerita mengalami pergerakan untuk berubah dan berjuang untuk pembebasan dirinya dari ketertindasan dan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan hak yang adil sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Sebagai pengamat sastra yang feminis, kita bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman kita tentang teks sastra dapat  kita uraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengkajian atas sejarah dan pengkajian yang berdampak politis, terakhir, kita pun dapat melakukan penulusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metode untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang dibuat oleh dan perempuan.[1]

Salah satu bentuk perlawanan terhadap belenggu patriarki adalah dengan mengkonstruksi tokoh perempuan sebagai karakter yang tangguh dan memiliki posisi setara dengan laki-laki. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan salah satu karya sastra yang mengkonstruksi tokoh perempuan menjadi setara, bahkan lebih kuat dari laki-laki. Novel ini ditulis oleh Eka Kurniawan dan terbit pertama kali tahun 2014.

Eka Kurniawan seorang penulis yang menyelesaikan studinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel ketiganya setelah 10 tahun tidak menerbitkan novel. Novel ini mengisahkan tokoh Ajo Kawir yang memiliki masalah pada kejantanannya. Konflik dimulai ketika Ajo Kawir bersama temannya, si Tokek, mengintip peristiwa yang terjadi di rumah perempuan gila bernama Rona Merah. Ketika itu dua polisi memperkosa perempuan gila, dan Ajo Kawir ketahuan mengintip kejadian itu. Singka cerita, burung Ajo Kawir menjadi ciut, dan tak pernah bisa berdiri untuk puluhan tahun lamanya.

Sepanjang hidup Ajo Kawir, diisi oleh perenungan atas burungnya yang masih tertidur pulas. Berkali dia berusaha untuk membuat burungnya itu kembali berdiri. Entah dengan cara digosok cabai, membaca novel stensilan, bahkan sampai mengunjungi rumah bordil. Namun, berbagai cara itu tetap tidak membuahkan hasil. Burung Ajo Kawir tetap lesu tak berdaya.
Konflik pada hal yang sangat privat, menjadikan novel ini memang unik, menarik, sekaligus menggelitik. Tentu hanya dapat dipahami oleh pembaca dewasa. Latar belakang filsafat, menjadikan Eka Kurniawan lihai menyisipkan pesan-pesan moral dan sebuah metafora akan kehidupan sosial. Cara Eka menjelaskan kejadian demi kejadian begitu liar, akan tetapi tidak terjebak menjadi vulgar. Heri CS dari Suara Merdeka berkomentar “Eka piawai menyisipkan makna yang tertebar di sana-sini.”[2]

Lain halnya dengan Aris Kurniawan dari Koran Tempo yang mengomentari tokoh-tokoh rekaan Eka Kurniawan. “Seperti dua novel Eka sebelumnya, novel ini dipenuhi tokoh-tokoh dengan karakter yang ‘tidak waras’. Ketidakwarasan tokoh-tokohnya, di luar motif hasrat seks yang menggerakkan mereka, juga menjadi cermin dari ketidakwarasannya zamannya.”[3]

Salah satu karakter penting dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah tokoh Iteung, kekasih Ajo Kawir yang juga seorang tukang pukul. Ajo Kawir dan Iteung bertemu pertama kali di hutan. Saat itu Ajo Kawir hendak membunuh Pak Lebe. Namun, Iteung menghadang, sehingga terjadilah perkelahian sengit antara Ajo Kawir dan Iteung. Iteung digambarkan sebagai sosok perempuan yang pandai berkelahi dan memiliki ilmu bela diri silat. Hal ini merupakan sebuah upaya mendekonstruksi pelabelan/stereotip negatif terhadap perempuan, yang dicitrakan sebagai sosok yang lemah. Meskipun pada akhirnya, Iteung memang kalah tarung dengan Ajo Kawir, akan tetapi Eka Kurniawan piawai menonjolkan sisi keberanian Iteung.

          Iteung jelas menguasai ilmu bela diri. Di luar penampilannya yang tampak lembut, tenaga dan daya tahannya sangat kuat. Ajo Kawir berkali-kali menerima pukulan kerasnya, dan ia harus mengakui, rasanya seringkali lebih pedas daripada pukulan kebanyakan lelaki.[4]
Keunggulan Iteung dalam bertarung juga ditunjukkan ketika ia berhasil membunuh Budi Baik, lelaki yang menaruh hati padanya sejak lama. Kemudian pernah suatu ketika Iteung berbuat serong pada Budi Baik, yang akhirnya membuat Ajo Kawir meninggalkannya. Kejadian itu membuat Iteung menaruh dendam pada Budi Baik.

Iteung tak ingin memberinya kesempatan untuk lari. Ia mengejar. Ia menjambak rambut Budi Baik, mengangkatnya, lalu dengan deras membenturkan kepala itu ke dinding. Iteung tak ingin memberinya kesempatan untuk lari. Ia mengejar…. Budi Baik berhenti menjerit. Ia terdiam. Tubuhnya lemas jatuh ke lantai. Darah mengalir menggenang di lantai.[5]
Eka Kurniawan telah mengkonstruksi tokoh Iteung sebagai transformasi perempuan yang awalnya lemah, dan menjadi objek pelampiasan tokoh Pak Toto (guru Iteung), menjadi perempuan perkasa. Lewat ilmu bela diri yang ia pelajari, Iteung tumbuh sebagai perempuan yang mampu setara kekuatannya dengan laki-laki, bahkan melampauinya. Hingga ia melakukan pembalasan kepada Pak Toto di kemudian hari. Upaya dekonstruksi stigma negatif pada perempuan ini merupakan sebuah kesadaran feminis yang memungkinkan lahirnya perlawanan/resistensi terhadap ketidakadilan gender.

DAFTAR PUSTAKA


Kurniawan, Eka. 2014. Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Latif, Nur. 2006. Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Saadawi. Makassar: Universitas Hasanuddin
Lilis A, Nenden. 2012. “Pasca-kolonial, Teks, dan Gerakan Sastra.” Jurnal Cerpen Indonesia, (12), 105-115
Permatasari, Delmarrich. TAHUN. Resistensi Tokoh-Tokoh Perempuan Terhadap Patriarki dalam Novel Garis Perempuan oleh Sanie B. Kuncoro. Universitas Airlangga: Jurnal Jentera




[1] Nur Latif, Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Saadawi, (Makassar: UNHAS, 2006), hlm. 46
[2] Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. i
[3] Ibid
[4] Kurniawan, Op.cit, hlm. 50
[5] Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 237

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Tips Tembus Blokade LPDP

Laporan Pertanggungjawaban Juri Lomba Cipta Cerpen FLS Kota Depok

GET TO KNOW : READING SLUMP