Babak Baru dalam Problematika Umat
Oleh:
Heri Samtani
Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ 2013
Dekade
1920-an menjadi catatan muram perjalanan panjang peradaban Islam. Pada tahun
1924, Khilafah Islam runtuh dan semenjak itu tak pernah muncul kembali sebagai
sebuah peradaban besar yang bersatu. Islam terpecah dalam kepingan-kepingan
menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam tak lagi mempunyai tempat mengadu
setelah terpecah.
Kekhalifahan
Islam terakhir itu dihancurkan secara sistematis oleh negara-negara Barat yang
menyimpan api dalam sekam terhadap Khilafah yang didirikan Ertugul Gazi
tersebut. Kelemahan Islam saat itu disebabkan kondisi internal yang buruk.
Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, intervensi asing di dalam
negeri, tarik-menarik antarberbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan,
serta birokrat-birokrat yang korup.
Islam
pada masa kini, berada di titik klimaks permasalahan yang kompleks. Sudah
hampir 100 tahun, Islam tercerai berai, dan selama itu pula tak banyak gerakan
progresif yang bisa dilakukan. Hal ini menandakan bahwa untuk memutar kembali
peradaban bukanlah hal yang mudah. Umat Islam tengah bersiap meneruskan tongkat
estafet perjuangan mengembalikan kembali masa kejayaan yang pernah dirasakan
berabad-abad silam lamanya.
“Jika kamu (pada perang
Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar)
mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya
Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya
sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran ayat 140)
Masa
pergiliran menjadi salah satu landasan penting yang harus dipahami oleh umat.
Saat ini Islam tengah terpuruk, tercabik-cabik, tak berdaya dalam cengkeraman
kaum kafir.Negara-negara muslim dijajah, baik dalam bentuk penjajahan
bersenjata, maupun penjajahan lewat jalur pemikiran dan upaya pemurtadan.
Palestina, Suriah, Afghanistan, Somalia, dan negara-negara Islam lainnya masih
terpuruk dalam suasana konflik. Sementara negara Islam lainnya tengah diracuni
virus sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme. Semua bentuk penghancuran ini
berjalan dengan sistematis. Sebesar apa pun upaya dai menangkalnya tetap saja
sulit membentengi akidah umat.
Kemerosotan
iman yang terjadi tentu membawa dampak pada kelemahan negara Islam. Allah pasti
memberikan kemenangan, akan tetapi perlu adanya upaya serius untuk menjemput
kemenangan itu. Hari ini, umat Islam dihadapkan pada persoalan internal yang
tidak kunjung usai. Kemerosotan akidah diiringi dengan persatuan antargerakan
dakwah yang belum juga mencapai titik pasti. Alhasil, kemenangan itu sulit
diraih.
Hal
yang paling disoroti dalam perkembangan bangsa adalah generasi mudanya. Namun,
generasi muda Islam saat ini tengah dihadapkan pada tantangan akhir zaman yang
penuh fitnah. Sehingga ada kecenderungan mengalami pendangkalan akidah. Bentuk
kemerosotan moral dan akidah pada generasi muda saat ini berupa pergaulan
asusila, tawuran pelajar, pornografi, kecanduan terhadap ekstasi, minuman
keras, hiburan yang melenakan, dan lainnya. Para remaja cendrung bergerak
menjadi generasi buih terhempas di pantai menjadi “X-G” the loses generationdan tidak berani ikut serta dalam mengendalikan
gelombang samudra globalisasi. Sehingga, generasi muda cenderung mudah terbawa
arus, tidak memiliki sistem filtering
yang kuat.[1]
Umat
Islam hari ini dihadapkan pada situasi perang pemikiran. Situasi ini belum
sepenuhnya mendapat perhatian secara proporsional di kalangan muslim.Bahkan
tidak sedikit dai yang belum mengetahuinya,atau kalau pun tahu, belum memahami
bagaimana cara menangkalnya.
“Mereka menghendaki
untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka tetapi Allah tetap
menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir benci.” (At Taubah: 32;
ash Shaf: 8)
Dalam
sejarah kontemporer, penerapan perang pemikiran dilakukan oleh orang-orang
kafir setelah mereka gagal menaklukan dunia Islam melalui perang konvensional
pada perang Salib. Kekalahan telak yang mereka alami menimbulkan kesadaran baru
bagi mereka, bahwa menaklukan Islam diperlukan penyerbuan yang sifatnya non
militer (non konvensional)[2]
Orang
pertama yang menyadari perlunya metode baru untuk menghancurkan atau menaklukan
dunia Islam adalah Louis XIV, Raja Perancis yang tertawan pada Perang Salib
VII. Ia menyerukan untuk melipatgandakan serbuan terhadap kaum muslimin.
“Setelah
melalui perjalanan panjang, segalanya telah menjadi jelas bagi kita. Kehancuran
kaum muslimin dengan jalan konvensional adalah mustahil. Karena mereka memiliki
sistem yang jelas dan tegas di atas konsep jihad
fii sabilillah. Dengan sistem ini, mereka tidak akan pernah mengalami
kekalahan militer.”[3]
Permasalahan-permasalahan
tersebut harus segera diatasi. Umat Islam harus segera berbenah, harus bersiap
memulai babak baru dalam peradaban Islam era kontemporer. Selayaknya sebuah
perang, maka kita harus melawan perang pemikiran. Umat harus mendapatkan
pemahaman yang cukup terkait adanya bahaya perang pemikiran. Kualitas
pendidikan perlu ditingkatkan untuk mendorong daya kritis bangsa menghadapi
pengaruh-pengaruh eksternal. Serta menekan adanya kekuatan asing melalui bangsa
Indonesia itu sendiri (proxy), menekan
pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh golongan munafik.
Perang
pemikiran sendiri merupakan semantic
game. Kaum kafir telah memainkan kata-kata untuk membuat pembenaran pada
sesuatu yang menyimpang. Dai harus mampu menangkal dengan teks. Harus bisa
memainkan kata-kata pula agar tidak terbawa arus pada pusaran semantic game.Problematika ini harus segera usai. Umat perlu mereformasi keimanan untuk
menggenapkan syarat menuju kemenangan.
Komentar
Posting Komentar