Permainan Semantik dalam Tweet Ulil Abshar Abdalla
Oleh: Heri Samtani
Semantic game atau permainan semantik merupakan senjata
pamungkas orang-orang liberal dalam mengikis keimanan umat Islam.
Permainan semantik bekerja di tengah lemahnya daya tangkap manusia dalam
mensintesiskan produksi ujaran/tulisan yang masuk ke dalam otaknya.
Muara dari permainan semantik ini adalah sebuah kebimbangan pada yang
benar dan yang salah. Kebimbangan antara yang hak dan yang yang batil.
Semantik pada dasarnya merupakan cabang dari mikrolinguistik yang
mempelajari makna dari tanda-tanda bahasa. Tanda bahasa tersebut dapat
berupa satuan sintaksis terkecil, yaitu kata, sampai pada satuan bahasa
terbesar yaitu wacana. Salah satu dinamika bahasa yang bermain pada
tataran makna adalah penyempitan makna. Contohnya saja kata radikal yang
mengalami penyempitan makna. Dalam perspektif sosial-keagamaan, kata
radikal acapkali diinterpretasi sebagai aliran kekerasan yang biasanya
dilakukan oleh oknum berlabel gerakan Islam. Padahal makna leksikal
(makna dalam kamus) kata radikal yaitusecara mendasar (sampai kepada
hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang,
pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak. Penyempitan
makna ini merupakan hasil kontruksi sosial yang dipengaruhi oleh
kekuatan media. Media memiliki pengaruh dalam menggiring opini publik
untuk tunduk pada pemaknaan baru pada suatu kata, dan publikasi kata
asing sehingga akrab di telinga masyarakat. Berlandaskan dinamika bahasa
inilah yang menjadikan suatu pemaknaan dapat berubah seiring
berkembangnya zaman.
Secara sederhana, permainan semantik dapat diartikan sebagai permainan kata-kata. Bentuk ulang kata-kata merujuk
pada suatu hal yang bermakna jamak. Sehingga, permainan ini tidak
terdiri dari satu kata, melainkan lebih dari satu kata. Itu artinya
dapat berupa frasa, klausa, kalimat, dan tataran tertinggi dalam
hierarki linguistik, yaitu wacana. Wacana erat kaitannya dengan sebuah
diskusi. Diskusi yang berhaluan pada permainan semantik dapat berujung
pada debat kusir. Debat kusir bermuara pada relativitas suatu kebenaran
dan pendapat logis. Relativitas inilah yang diincar oleh kaum liberal.
Mereka berusaha menisbikan suatu kebenaran mutlak, atau menjadikan suatu
kontradiksi argumen sebagai hal yang kompromistis.
Perdebatan antara bumi bulat atau bumi datar merupakan salah satu contoh nyata adanya permainan semantik. Bumi itu bulat, tetapi tidak bulat sempurna. Diameter
bumi lebih panjang di khatulistiwa daripada diameter antarkutub. Bentuk
ini dinamakan ‘oblate spheroid’. Perbedaan panjang diameter tidak
besar, hanya 0,33% saja. Oleh karena itu masih bisa dikatakan sah saja
menyebut bumi itu bulat. Namun, kaum bumi datar acapkali memainkan makna
kata bulat untuk menisbikan kebenaran dari bentuk bumi. Ketika
mereka tidak bisa lagi mempertahankan argumen, minimal lawan juga tidak
bisa membuktikan kebenaran mutlak yang konvensional (disepakati publik).
Ini dinamakan trik berdiskusi “red herring”, atau lebih spesifik
disebut “argumentum ad dictionarium”. Modus operandinya adalah menggeser
pembicaraan mengenai bentuk bumi menjadi permainan semantik, yaitu
perdebatan mengenai arti kata. Jika terjebak, kita harus terlibat pada
diskusi tentang definisi kata bulat yang sama sekali tidak produktif.
Muaranya lagi-lagi adalah relativitas, mengikis kebenaran yang telah
disepakati. Sehingga terbentuklah konklusi tidak ada yang benar benar benar, dan tidak ada yang benar benar salah.
Terapan dari permainan semantik pada persoalan bentuk bumi mungkin
tidaklah berbahaya. Namun, permainan semantik yang bermain di ranah
agama menjadi persoalan sengit yang tidak bisa ditanggapi permisif.
Variasi agama mengakibatkan munculnya perbandingan. Perbandingan erat
kaitannya dengan analisis kelebihan dan kekurangan, sehingga pada
akhirnya diperoleh derajat perbandingan; paling benar, lebih benar.
Terapan semantic game-nyaadalah menempatkan ajaran Islam
sebagai agama yang diyakini paling benar berdasarkan faktor penanda
waktu kemunculannya. Islam paling mutakhir dibanding dua agama samawi
lainnya. Padahal dalam ajaran Islam menekankan bahwa ajaran Islam
satu-satunya yang diakui kebenarannya disisi Allah SWT. Ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. menyempurnakan dan meniadakan
ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya.
“…. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu. ….”
(Al Maidah: 3)
Frasa paling benar merujuk pada suatu konteks adanya objek
kebenaran yang majemuk. Jika Islam diakui sebagai agama yang paling
benar, ini mengindikasikan bahwa ajaran lain pun benar, tidak masalah.
Hanya derajat perbandingannya yang berbeda. Islam dianggap paling
unggul. Namun, sesuatu yang paling unggul bukan berarti tak memiliki
sisi kecacatan. Sisi kecacatan itulah yang kemudian dimainkan oleh
kalangan liberal dengan bermodalkan senjata media. Pada akhirnya mereka
berhasil menciptakan relativitas dalam suatu konteks agama. Sehingga
terjadilah pendangkalan akidah, pengikisan rasa fundamentalis, dan
kesepahaman bersama yang kompromis. Sepintas, penuh kedamaian memang.
Akan tetapi, inilah bentuk pemurtadan kontemporer. Umat Yahudi dan
Nasrani tidak cukup berhasil melakukan pemurtadan absolut, maka
menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya merupakan alternatif yang
cerdas.
Trik jitu dalam pemurtadan kontemporer adalah dengan menanam kalangan
liberal di negara-negara Islam. Mereka menciptakan golongan munafik
dengan meminjam frasa muslim intelektual. Bukankah umat Islam
akan lebih percaya terhadap kalangan pemikir intelektual yang berlabel
Islam? Dengan begitu, pemikiran-pemikiran dari barat dengan mulus
diadaptasi dan diinternalisasi ke dalam syariat. Contoh nyatanya adalah
penggunaan metode hermeneutika (tafsir bebas) dalam menafsirkan
kandungan Al Quran.
Salah satu tokoh liberal yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah
Ulil Abshar Abdalla. Argumen-argumen kontroversialnya acapkali
disebarkan lewat jejaring sosial twitter (@ulil). Akun twitter @ulil memiliki 759ribu pengikut. Tweet-tweet Ulil yang ditelaah berupa tweet yang
bersinggungan dengan kebenaran mutlak dalam kacamata Islam. Permainan
semantik yang dilakukan Ulil adalah upaya untuk menggeser kebenaran
mutlak menuju kesepakatan pada argumen pribadinya yang tentu saja worldview-nya bukan Islam.
Salah satu tweet Ulil pada tanggal 22 Agustus 2018 berbunyi sebagai berikut.
Arena Khutbah di masjid memang sudah seharusnya dibersihkan
sebersih-bersihnya dari politik elektoral atau menyerang kelompok ini
atau itu.Masjid jangan dibiarkan menjadi ruang yang menyebarkan
polarisasi dan perpecahan sosial. Masjid mestinya jadi tempat sujud yang
damai.
Topik utama yang diangkat adalah seputar permasalahan alihfungsi
masjid sebagai arena politik. Kebenaran mutlak menurut kacamata Islam
adalah sah-sah saja menjadikan masjid sebagai ruang pembahasan politik,
semata-mata untuk mencerdaskan umat. Ajaran Islam itu syamil (sempurna), urusan masuk ke kamar mandi saja diatur dalam Islam, apalagi urusan politik. Dalam buku Al Maghluts, Atlas Al-Hajj wal Umrah halaman
247 dijelaskan bahwa salah satu tiang Masjid Nabawi dinamakan dengan
Tiang Duta dikarenakan Nabi Muhammad SAW. biasa menemui utusan negara
lain di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa sah-sah saja menjadikan
masjid sebagai ruang politik.
Permainan semantik yang dilakukan oleh Ulil adalah dengan mengawinkan hubungan kausal politik elektoral dengan perpecahan sosial. Seolah
adanya ruang politik di arena khutbah telah menyebabkan perpecahan
sosial. Permainan semantik ini dipercantik dengan kalimat penutup Masjid mestinya jadi tempat sujud yang damai.
Bagi kalangan muslim yang tidak berpikir dengan sudut pandang Islam,
tentu akan terjebak pada permainan kata-kata ini. Kebenaran mutlaknya
adalah masjid sebagai wadah pencerdasan kepada umat Islam untuk memilih
sesuai dengan tuntunan syariat. Jangan pisahkan politik dengan Islam.
Namun, pandangan Ulil yang tidak berhaluan pada Islam berusaha menggeser
kaidah tersebut dengan membangun premis bersihkan masjid dari urusan politik elektoral agar tidak terjadi perpecahan sosial.
Topik lain dalam tweet Ulil adalah seputar hari raya idul adha yang dipos pada 21 Agustus 2018. Berikut bunyi tweet Ulil tersebut.
Merayakan idul adha adalah merayakan warisan Ibrahim. Warisan itu
mengalir melalui tiga sungai besar: Yahudi, Kristen, Islam.Merayakan
Idul Adha adalah mengenang akar besar yang menjadi hulu dari tiga agama
besar.
Sepintas, tweet di atas memang bernada penuh kedamaian dan
toleransi yang tinggi. Namun, lagi-lagi Ulil bermain pada ranah
relativitas agama. Ulil mencoba menekankan tiga agama langit (Islam,
Yahudi, Kristen) adalah ajaran agama yang sah sebagai warisan Ibrahim.
Padahal kebenaran mutlaknya adalah ajaran dari Nabi Adam A.S. sampai
dengan Nabi Muhammad SAW. sama-sama ajaran Islam, ajaran yang menekankan
pada tauhid (mengesakan Allah SWT.). Bedanya, pada masa Rasulullah
digaungkan bahwa ajaran Islam telah sempurna, tidak akan ada lagi Nabi
setelah Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, istilah Kristen muncul pertama
kali di kalangan gereja Anthokhia, dijelaskan dalam al kitab Kisah Para Rasul 11:26-27. Kitab Kisah Para Rasul
sendiri merupakan salah satu isi perjanjian baru. Itu artinya tidak
berasal dari ketentuan yang diwahyukan lewat Nabi Isa A.S. Begitu pun
agama yahudi, bukanlah yang dibawa oleh Nabi Musa A.S, melainkan ajaran
agama yang berlandaskan pada kitab talmud. Perlu kita pahami pula, akar
historis penyimpangan bangsa Yahudi adalah ketika mereka menolak nabi
akhir zaman yang berasal dari kalangan Arab (non Yahudi). Maka, dapat
dipastikan, baik Kristen maupun Yahudi bukanlah agama yang satu muara
sungai dengan Islam.
Permainan semantik yang dilakukan oleh Ulil adalah pemaknaan frasa warisan Ibrahim. Warisan Ibrahim dimaknai sebagai warisan yang mengalir melalui tiga sungai besar: Yahudi, Kristen, Islam. Padahal
satu-satunya ajaran agama yang dibawa oleh seluruh Nabi adalah Islam.
Hanya istilah Islam baru digaungkan di zaman Rasulullah SAW. Pergeseran
kebenaran mutlak ini kemudian dipercantik dengan kalimat Merayakan Idul Adha adalah mengenang akar besar yang menjadi hulu dari tiga agama besar. Efeknya
adalah publik awam menilai bahwa tiga agama besar itu sebetulnya
pecahan dari satu ajaran yang sama. Maka, sampai di sini relativitas
bermain dengan efektif. Seolah antara ketiganya hanya dipisahkan oleh
pilihan masing-masing penganut. Padahal perbedaan antara ketiga agama
tersebut jelas jauh berlawanan.
Berbagai upaya sengit yang dilakukan oleh kaum liberal jelas punya pengaruh besar terhadap pendangkalan akidah umat. Tweet-tweet Ulil
di atas hanya sebagian kecil dari permainan bahasa yang dilakukan oleh
kaum liberal. Mereka memahami bahwa permainan diksi, hubungan kohesif
antarkalimat, pembentukan frasa, tata letak struktur kalimat, dan
komponen-komponen bahasa lainnya memiliki pengaruh besar terhadap
orientasi pemikiran publik. Maka, waspadalah terhadap permainan
kata-kata. Kuasai bahasa, agar tidak mudah diakal-akali oleh golongan
liberal.
Referensi
Al Maghluts, Atlas Al-Hajj wal Umrah
Appeal to Definition – Logically Fallacious
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Red Herring – Logically Fallacious
Komentar
Posting Komentar