SUPERIORITAS TOKOH-TOKOH PRIA DALAM CERPEN BAJU KARANGAN RATNA INDRASWARI, PUISI PENGAKUAN PARIYEM KARANGAN LINUS SURYADI AG, DAN NOVEL BUMI MANUSIA KARANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER DENGAN PENDEKATAN DEKONSTRUKSI


Oleh : Heri Samtani
Mahasiswa S2 Susastra Universitas Indonesia

Entitas gender selalu menjadi hal menarik dalam khazanah sastra Indonesia. Begitu banyak karya sastra yang menyinggung persoalan gender. Sebab, sejak dahulu sampai dengan hari ini, isu patriarki telah mendarah daging sebagai budaya yang lahir di tengah-tengah masyarakat. Kontruksi sosial yang turun temurun telah membentuk hierarki sosial antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi antara superior dengan inferior, kuat dan lemah, serta penindas dan tertindas.
Suara hati perempuan dapat diungkapkan lewat genre puisi, prosa, dan drama. Naluri batin wanita Jawa sangat luwes diungkapkan oleh Linus Suryadi AG., lewat karyanya berjudul Pengakuan Pariyem. Di lain genre, ada Cerpen Baju karangan Ratna Indraswari yang pernah terbit di harian Kompas. Cerpen ini merupakan sebuah dekontruksi karakter Drupadi yang begitu apik dan lantang diceritakan oleh Ratna Indraswari. Bicara soal entitas gender, tentu menarik pula jika membahas bagian dari novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Ketiga karya sastra tersebut menampilkan adanya sebuah kritik sosial terhadap superioritas kaum laki-laki yang kerap menjadi senjata untuk menindas perempuan. Bagaimana tokoh pria digambarkan dalam ketiga novel tersebut menindas kaum perempuan oleh karena superioritas di dalam dirinya. Hal tersebut dibongkar melalui metode dekonstruksi dan melihat pola yang mirip pada ketiga karya tersebut (Barry, 1995: 86-87).
Analisis dengan metode dekontruksi dapat membongkar isu sosial yang ada di balik teks. Isu tersebut yakni berkaitan dengan masalah gender, penindasan, dan superioritas kaum laki-laki. Isu tersebut bukanlah hal yang baru dalam hubungan sosial manusia, akan tetapi menjadi bagian dari budaya yang sulit untuk dilepaskan. Dengan menjelaskan teks yang terdapat pada ketiga karya tersebut, dapat diketahui bagaimana superioritas pria dalam melakukan penindasan terhadap perempuan.
Tahap proses dekonstruksi yang dikembangkan oleh Peter Barry memuat tiga tahapan. Ia mendeskripsikan tiga tahap tersebut sebagai verbal, tekstual, dan linguistik. Tahap verbal hampir sama dengan tahap dalam bentuk pembacaan cermat yang konvensional di era tahun 1920an sampai 1930an dalam buku Empson, Seven Types of Ambiguity. Tahap ini melibatkan pencarian paradoks dan kontradiksi dalam teks. Sementara tahap tekstual melebihi frasa individual dan memandang karya sastra secara lebih komprehensif. Pada tahap linguiistik, berupa upaya pencarian momen-momen dalam karya sastra ketika kelayakan bahasa itu sendiri sebagai media komunikasi dipertanyakan.
Cerpen Baju mengisahkan tokoh Drupadi yang diadaptasi dari kisah Mahabrata. Cerpen ini banyak memuat karakter pria, terutama suami-suami Drupadi. Secara tekstual, tokoh Drupadi ditampilkan sebagai permasuri, tetapi di lain sisi Drupadi digambarkan tidak memiliki kuasa untuk melepaskan diri sebagai objek perjudian. Meskipun dari awal sampai akhir cerpen, terjadi dekonstruksi tokoh Drupadi, pengarang telah membentuk kebaruan tokoh tersebut. Sehingga lebih menunjukkan adanya resistensi/perlawanan.
Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak istana?
Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang ksatria harus menepati janjinya.
(Cerpen Baju – hlm. 1)
Tokoh Drupadi digambarkan tidak memiliki kuasa untuk melawan penghinaan yang dilakukan oleh budak istana. Latar belakang dirinya yang seorang anak raja tampak tidak memiliki arti dalam penggalan tersebut. Di lain sisi, tokoh-tokoh pria memiliki superioritas, meskipun mereka semua bukanlah kalangan bangsawan. Namun, para ksatria yang mendapatkan cinta Drupadi dengan perjuangan dan pengorbanan.
Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan.
(Cerpen Baju – hlm. 1)
Suami-suami Drupadi digambarkan memiliki kuasa untuk menjadikan perempuan sebagai objek. Bahkan, perempuan tersebut adalah anak raja. Kedudukan yang membentuk oposisi biner ini (antara anak raja dan ksatria) nyatanya dapat mengubah struktur kuasa. Dalam penggalan tersebut digambarkan Drupadi tidak memiliki kuasa sama sekali untuk menaklukan pemikiran para tokoh pria. Nalurinya tidak didengar, dan mereka tetap pada pendiriannya demi mendapatkan kuda dan kereta perang.
Kekuasaan pria juga digambarkan dalam puisi Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi AG. Puisi ini banyak menampilkan sisi superioritas dari tokoh Den Baguse yang merupakan anak raja di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta dan ayahnya nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Bagaimana kedua tokoh memiliki peran penting bagi dinamika kehidupan tokoh utama perempuan bernama Pariyem.
Puisi ini memiliki keretakan teks secara verbal atau dalam internal pemaknaan katanya. Seperti pada kutipan berikut.
Ibarat matahari waktu siang
dan rembulan di waktu malam
    juru terang kehidupan
obor kita sepanjang perjalanan

(Pengakuan Pariyem – hlm. 112)

Bait di atas menampilkan oposisi biner antara siang dan malam, antara terang matahari dan rembulan. Namun, matahari dan rembulan bukanlah objek yang memiliki nilai kualitas cahaya yang sama. Rembulan sendiri bukanlah benda angkasa yang bisa memproduksi cahaya sendiri. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai juru terang, apalagi dapat menjadi obor di sepanjang perjalanan. Sebab, terangnya rembulan tidak sampai menembus di segala sudut-sudut ruang dalam  kehidupan ini.
Pada bagian teks lain lebih menggambarkan bagaimana proses hubungan terlarang antara Pariyem dan Den Baguse berulang terjadi. Hal tersebut di bawah kendali superioritas tokoh Den Baguse. Den Baguse memiliki kuasa untuk mengendalikan tokoh perempuan melalui kekuatan fisik dan relasi kuasa dirinya yang merupakan seorang raden (bangsawan). Hal itu didukung oleh inferioritas di dalam diri Pariyem yang hanyalah seorang babu dan ia rela (nrimo) diperlakukan secara tidak terhormat oleh Den Baguse.
Pendeknya, dia kasmaran sama saya
selagi saya membersihkan kamarnya
tiba-tiba saya direnggut dari belakang
O, Allah, saya kaget setengah mati, mas
sekujur tubuh saya digerayanginya
(Pengakuan Pariyem – hlm. 40)

Bentuk perlakuan Den Baguse terhadap Pariyem menunjukkan bahwa dirinya tidak merasa perlu untuk menaruh rasa hormat pada perempuan. Sehingga, ia melakukan tindakan pelecehan pada Pariyem, yaitu menggerayangi sekujur tubuh perempuan tersebut. Namun, Pariyem merasa lega lila (menerima) perlakuan-perlakuan tersebut berulang kali terjadi. Bahkan sampai pada akhirnya Pariyem meteng (hamil) karena ulah Den Baguse.
Tapi saya pasrah saja, kok
saya lega lil –
Tanpa berkata barang sekecap
peristiwa itu pun terjadilah
Jagad gemetar memangku kami
dalam cahaya matahari pagi
                                                            (Pengakuan Pariyem – hlm. 41)

Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Tapi dengan putra sulungnya main asmara
dan kini meteng sebagai buahnya

                                                            (Pengakuan Pariyem – hlm. 188)

Sisi superioritas lain yang tampak dalam diri tokoh pria juga terdapat pada tokoh nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Tokoh tersebut digambarkan sebagai raja di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta. Kedudukan sebagai penguasa menjadikan dirinya sebagai tokoh yang sangat berpengaruh bagi dinamika hidup Pariyem. Pengadilan keluarga yang digelar secara personal telah mempertemukan Pariyem dan Den Baguse sebagai terduga. Keputusan dalam pengadilan tersebut yang dipimpin oleh nDoro Kanjeng Cokro Sentono telah memutuskan bahwa Pariyem akan dikembalikan ke daerah asalnya, Wonosari Gunung Kidul. Selain itu, keluarga nDoro Kanjeng Cokro Sentono tetap mengakui bahwa anak Pariyem adalah bagian dari keluarga mereka. Meskipun, kedudukannya takkan pernah sama di mata publik. Inti dari hasil keputusan tersebut adalah pengusiran secara halus pada Pariyem. Sebab, bagaimanapun Pariyem telah membawa permasalahan bagi nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta. Melalui bagian ini, dapat diketahui bagaimana peran nDoro Kanjeng yang memiliki kedudukan/hierarki paling tinggi di nDalem Suryamentaraman. Pariyem sendiri tidak melakukan perlawanan/protes dalam bentuk apapun.
“….
Maka sebagai Hakim merangkap Jaksa
Sudah jamaknya saya berlaku bijaksana
dan menjatuhkan vonis hukuman segera:
Ringan sama dijinjing
berat sama dipikul
Bagaimana pleidoi tim pembela?”
(Pengakuan Pariyem – hlm. 199)

Vonis tersebut tampak hanya melibatkan pleidoi tim pembela yang terdiri dari nDoro Ayu dan nDoro Putri. Sementara Pariyem, dengan segala inferioritas dalam dirinya tak menduga apa-apa dari vonis yang gelap tersebut. Pariyem tak memahami makna dari vonis yang diucapkan dengan pertimbangan sepihak oleh nDoro Kanjeng.
Lha, namun apa artinya vonis barusan?
Sungguh, saya belum paham benar
Tapi biar sajalah
saya taka pa-apa
Saya pasrah saja, kok
saya lega lila
(Pengakuan Pariyem – hlm. 200)

Kebingungan Pariyem kemudian terjawab lewat suasana yang berkembang di nDalem Suryamentaraman keesokan paginya. Masih dengan sisi inferioritas seorang babu dan superioritas keluarga bangsawan, pada akhirnya Pariyem meninggalkan kerajaan dan kembali ke daerah asalnya. Hal itulah yang dimaknai oleh nDoro Kanjeng sebagai ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul. Tak ada pembelaan, tak ada perlawanan, tetapi bukan berarti Pariyem mengalah. Ia lega, lila, dalam bahasanya nrimo.
Esok paginya kami pun berangkat
Satu keluarga lengkap, sudah siap
Meninggalkan nDalem Suryomentaraman
….
(Pengakuan Pariyem – hlm. 203)

Pada kutipan lain, menggambarkan dinamika hidup Pariyem kemudian bergeser, tidak lagi menjadi bagian dari babu kerajaan.
ah ya, kini saya di Wonosari Gunung Kidul
membantu bapak dan simbok mengolah hidup
rewang di rumah, di pasar, rewang sawah
sambil memelihara thuyul dalam kandungan
(Pengakuan Pariyem – hlm. 208)
Tokoh laki-laki seringkali menjadi antagonis karena sisi superioritas dalam dirinya. Hal ini juga tampak jelas diungkapkan oleh Pram lewat karya fenomenalnya, Bumi Manusia. Tokoh ayah Nyai Ontosoroh digambarkan bersikap superior terhadap nasib putrinya. Tokoh ayah memiliki keputusan mutlak dalam menikahkan anaknya pada pria lain yang belum tentu dicintai oleh perempuan tersebut. Bahkan, dalam konteks Nyai Ontosoroh, sang ayah menjadikan anaknya tersebut sebagai gundik kolonial Belanda demi memperoleh jabatan yang lebih tinggi di pemerintahan. Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan kelemahan Nyai Ontosoroh di bawah kekuasaan ayahnya sebagai subjek superioritas yang feodal.
Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan.
(Bumi Manusia – hlm. 119)

Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu, Ann—hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat.
(Bumi Manusia – hlm. 119)
Pada bagian lain, menunjukkan ketidakpedulian tokoh ayah terhadap putrinya yang diserahkan sebagai gundik.
“Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini itu bukan rumahmu lagi.”
(Bumi Manusia – hlm. 119)
Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini. Aku harus tabah, kubisikkan pada diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau!
(Bumi Manusia – hlm. 119)

Relasi kuasa tokoh ayah telah membawa perubahan begitu besar dalam diri Nyai Ontosoroh. Kekuasaan sang ayah yang diimbangi oleh ketidakpedulian dan keserakahan telah menjadi penyebab utama yang melahirkan bentuk ketidakadilan tersebut. Ketidakadilan tersebut berpangkal pada budaya feodal yang mampu dipraktikkan oleh tokoh ayah karena ia memiliki karakter superior dibanding tokoh lain (Nyai Ontosorah dan Ibunya).
Melalui pembacaan ketiga karya sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki karakter superior berupa kekuasaan, kemampuan menindas, berbuat tidak adil, mengendalikan nasib perempuan, keberanian untuk melucuti harga diri perempuan, dan melakukan praktik feodal. Selain itu terdapat keretakan tekstual dan verbal. Pada cerpen baju, keretakan tekstual terjadi pada ketidakmampuan Drupadi untuk menolak dijadikan objek taruhan. Sementara pada puisi Pariyem terdapat oposisi biner yang keliru antara siang dan malam, dan rembulan juga matahari yang disamakan kedudukannya sebagai juru terang.

Bibliografi
AG, Linus Suryadi. 2009. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Barry, Peter. 1995. Beginning Theory. Manchester: Manchester University Press
Indraswari, Ratna. 2005. Cerpen Pilihan Kompas 2004. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Tips Tembus Blokade LPDP

Laporan Pertanggungjawaban Juri Lomba Cipta Cerpen FLS Kota Depok

GET TO KNOW : READING SLUMP