Kisah Tentang Pecel Ayam dan Pecel Lele
#DiaryOfIndependentMan
Kalau disuruh memilih, mana
antara pecel ayam atau pecel lele, kebanyakan anak-anak tentu lebih memilih
pecel ayam. Barangkali bukan cuma anak-anak, orang dewasa pun begitu. Kita
tahu, keduanya memiliki rating level yang lumayan jauh. Pecel lele bisa dibeli
seharga 12.000/13.000-an, pecel ayam bisa lebih dari 15.000. Tapi suatu hari,
ketika saya masih kecil, kurang tahu pastinya usia berapa, mungkin sekitar 6/7
tahun. Saya diajak mampir sama Bapak saya ke pecel lele pinggir jalan. Dia
bilang, saya mau apa? Pecel lele atau pecel ayam? Naluri anak-anak saya
berhasrat ingin pecel ayam. Walau memori-memori lain berteriak pecel lele,
karena memang keluarga saya lebih sering beli pecel lele ketimbang pecel ayam.
Karena harganya yang jauh lebih murah. Ya, waktu itu masih awal tahun 2000-an,
konsumsi ayam itu masih sangat “mewah” untuk kalangan low-middle class seperti saya dan keluarga. Akhirnya, saya pilih
pecel lele. Karena saya takut, pecel ayam itu mahal. Saya takut menyusahkan
bapak saya.
Ketakutan untuk meminta sesuatu
yang diinginkan itu mengendap di sepanjang masa kecil saya, barangkali juga
berpengaruh besar sampai saya beranjak dewasa. Saya anak ke delapan dari
delapan bersaudara. Lahir di era Soeharto, bukan hal yang mudah. Ekonomi saat
itu sangat sulit. Uang itu susah didapat. Sejak kecil, saya selalu takut untuk
meminta dibelikan mainan, atau semacamnya. Karena saya tahu, bapak-ibu saya tak
punya banyak uang untuk membeli sesuatu yang tak perlu. Mainan-mainan saya
kebanyakan didapat dari hasil beli chiki yang berhadiah, atau hasil
ngubek-ngubek sampah di dekat rumah. Ya.. sesekali beli di kantin SD. Dan
banyak juga yang sepertinya hasil dibelikan orang tua. Pokoknya, seingat saya,
kalau ada tukang mainan di tontonan/acara dangdut nikahan, saya cukup melongo
menatap mainan-mainan yang dijual. Itu saja cukup.
Rasa takut untuk meminta “yang
tak perlu” itu berlanjut saat SD kelas 6. Saya paling tidak bisa untuk
berangan-angan soal jalan-jalan, perpisahan di penghujung kelulusan. Karena
lagi-lagi, itu bukan hal yang mudah untuk dipenuhi oleh orang tua saya. Sampai
akhirnya, guru saya datang ke rumah, untuk membujuk ibu saya, karena saat itu
saya mendapat peran sebagai penyampai pidato perpisahan. Bertahun-tahun
kemudian, memori ketakutan itu kembali hadir, ketika teman-teman SMK hendak
membuat acara jalan-jalan perpisahan. Tentu, saya ingin ikut, tapi rasa enggan
untuk berangan-angan soal jalan-jalan itu lebih dalam menghantui. Toh, saya
juga tak punya banyak uang, dan tidak mungkin minta uang ke ortu untuk
jalan-jalan. Dan saat itu, saya juga harus mengumpulkan uang untuk membayar
pendaftaran SBMPTN.
Terakhir, barangkali ini ujung
dari ketakutan saya, karena tahun-tahun berikutnya, saya harus mengumpulkan
banyak uang untuk melangsungkan hidup. Dengan arti kata lain, saya sudah tidak
boleh bergantung pada orang tua. Saat itu, semester 6 perkuliahan. Tiba
waktunya untuk voting destinasi
Kuliah Kerja Lapangan. Teman saya lebih senang menyebutnya dengan nada satir “Kuliah
Kenyataannya Liburan” (Walau akronim terakhir ini tidak sepenuhnya tepat juga).
Entah, saya merasa bodoh karena memilih “Bandung”. Ya, tentu bukan karena
Bandung itu tak menarik. Hanya saja, Jakarta-Bandung memang terlalu dekat, dan
pasti semua anak UNJ seusia 20-an tahun seharusnya pernah ke Bandung. Saya
merasa bodoh, karena opsi Bandung pasti kalah, dan suara saya begitu sia-sia.
Tapi kau perlu membaca lebih teliti, mengapa Bandung menjadi pilihan saya.
Karena lagi-lagi memori ketakutan untuk merengek-rengek minta dituruti
keinginannya, itu masih sangat dalam mengendap di jiwa saya. Saya tak merasa
sanggup untuk pergi ke luar kota yang terlalu jauh, karena pasti biayanya
besar, apalagi pergi secara kolektif, ada biaya-biaya lain yang mesti ditanggung
bersama. Saat itu, opsi Bali-Lombok pun menang. Sebetulnya saya senang juga,
karena memang ingin sekali pergi ke Bali.
Walau akhirnya uang bidikmisi harus terkuras, yang mestinya bisa
bertahan untuk beberapa bulan. Tapi ludes untuk beberapa hari saja. Saya masih
lebih beruntung, karena tahun-tahun berikutnya trend KKL ke luar negeri mulai
marak. Di satu sisi saya senang, karena mungkin pendapatan orang-orang tua
mulai lebih baik di era digital ini. Kau tahu, sebagian orang yang dulunya
hidup sangat susah (entah mengapa saya agak tidak enak memakai kata miskin),
ketika dia sudah punya banyak uang, tidak sekonyong-konyong dia akan begitu
peduli pada orang lain yang hidupnya masih dalam kemelaratan. Bahkan jauh lebih
melarat dari hidupnya dulu. Saya menyaksikan itu di dalam diri saya sendiri.
Ceritanya menarik sekali dan bisa menjadi tamparan kehidupan bagi saya🥲
BalasHapus