Membongkar Ideologi di Balik Pembebasan Narapidana Korupsi
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly
mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor
99 Tahun 2012 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Hal ini untuk mencegah penyebaran virus corona (covid-19) di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Yasonna merinci setidaknya empat
kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui mekanisme revisi PP tersebut.
Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana
5-10 tahun yang sudah menjalani dua per tiga masa tahanan. Kriteria kedua,
narapidana kasus tindak pidana korupsi yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
Kriteria ketiga, narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan
telah menjalani 2/3 masa tahanan. Kriteria terakhir, berlaku bagi narapidana
WNA asing sebanyak 53 orang.
(CNN Indonesia, 2/4/2020)
Koordinator Divisi Korupsi
Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai Yasonna tengah
memanfaatkan situasi krisis. Menurut ICW, selama 2015-2019, Yasonna sudah empat
kali mengatakan mau merevisi peraturan tersebut. “Ini kerjaan dan agenda lama
yang tertunda. Corona menjadi justifikasi saja,” katanya dalam sebuah diskusi
interaktif, Kamis (2/4/2020).
Perubahan kebijakan pemerintah
tidak lepas dari latar ideologi yang berada di balik relasi kuasa. Kekuasaan
individu maupun kolektif bukanlah sesuatu yang bernilai netral, sebab pada
dasarnya, setiap manusia dewasa telah meresapi nilai-nilai di dalam
kehidupannya. Sehingga, dalam memutuskan atau mempertimbangkan suatu gagasan,
disertai oleh latar ideologi/pemikiran yang selama ini tertanam di dalam
dirinya.
Ideologi merupakan sistem
representasi (citraan, mitos, gagasan, atau konsep menurut kasusnya)—yang
memiliki logika dan kekerasan layaknya sendiri–yang diberkati dengan keberadaan
dan peran historis di tengah masyarakat tertentu. (Goldstein, 23). Ideologi
inilah yang perlu dibongkar paksa untuk mengetahui motif terselubung di balik
gagasan Yasonna soal pembebasan narapidana korupsi.
Kekuatan negara dilestarikan
melalui yang disebut Althusser, sebagai struktur represif, yaitu
institusi-institusi seperti pengadilan hukum, penjara, angkatan kepolisian, dan
angkatan bersenjata, yang beroperasi menggunakan kekuatan eksternal (Barry, 192).
Negara memiliki kekuatan untuk mengendalikan publik melalui kebijakan. Hal ini
bersifat represif/menekan dan tentu saja memaksa. Jika kita menelusuri secara
lebih dalam, revisi peraturan pemerintah berada dalam kungkungan relasi kuasa
antara Menteri Hukum dan Ham, dan juga
Presiden. Keputusan final akan berdampak pada lolosnya revisi peraturan
tersebut. Maka sekali lagi, negara memiliki kekuatan untuk menekan. Suara-suara
kritis, tagar-tagar di twitter, lelucon
satir, hanya akan berakhir sebagai ekspresi perlawanan semi terbuka.
Faktanya, revisi peraturan ini berlindung
di balik apa yang disebut oleh Roland Barthes dengan istilah myths. Myths sendiri merupakan sesuatu
yang mengandung wacana ideologis, tetapi diterima secara wajar oleh sosial.
Sesuatu yang sebetulnya menyimpan landasan ideologis disampaikan seolah-olah
tidak memiliki landasan ideologis. Yasonna berargumen bahwa revisi ini sebagai
bentuk perlindungan pada narapidana yang rawan terdampak virus covid 19. Corona
dijadikan sebagai justifikasi, argumen halus yang bernilai humanis, padahal
memiliki agenda terselubung. Demi memuluskan salah satu agenda tersebut,
dibuatlah empat kriteria. Karena tidak mungkin, hanya membebaskan narapidana
koruptor. Lantas, mengapa tidak semua narapidana dengan beragam kasus mendapat
perhatian khusus? Bukankah ini sebuah bentuk narasi kemanusiaan yang tanggung?
Atau memang bukan berdasar kepada pendekatan humanis, melainkan solidaritas di
antara komplotan pengkhianat negara. Berkaitan dengan itu, ICW merilis 22 napi
megakorupsi yang bisa dibebaskan oleh Yasonna.
Pemerintah dengan struktur
represif akan memungkinkan goal-nya
kebijakan yang selama ini menuai kritik. Namun, bagaimana pun, suara-suara
kritis bukanlah benteng perkasa yang mutlak menentang kebijakan. Suara-suara
kritis hanya gesekan penghambat. Relasi kuasa tetap bermain. Tinggal bagaimana
ideologi bekerja di balik keputusan presiden. Bukankah isu menjengkelkan
semacam ini bukan hal baru di negara yang memiliki segudang musuh dalam
selimut.
Komentar
Posting Komentar