Memoria Passionis
Oleh: Heri ST
Usiaku baru 10 tahun
ketika alat-alat berat mulai berdatangan menggempur tanah Boven Digoel. Aku belum
pernah menyaksikan benda semacam itu. Rodanya besar, kokoh, menggilas permukaan
bumi dengan buas. Bunyi derum mesin membelah keheningan belantara. Semua menuju
satu titik – yang beberapa hari lalu disurvei oleh mereka – di pangkal hutan. Aku
tak bisa melihat lebih jauh lagi, sebab puluhan tentara dan polisi berjaga,
lengkap dengan popor senjata api.
Aku masih terlalu bodoh
untuk mengenali peristiwa itu. Selama ini aku hanya mengenal Auyu sebagai
sebuah kedamaian tanpa tepi. Sayap-sayap burung membelah angkasa, lalu kaki
kecilnya hinggap mencengkeram batang matoa. Bunyi pemburu mengejar babi hutan.
Tanah dingin dan becek bercipratan dihentak kaki kijang. Atau tetes air yang
jatuh dari pucuk daun, lalu tersangkut di dahan. Semua itu, harmonis tanpa
cela.
Aku tak paham betul
bagaimana hari ini menjadi penentu hidup bertahun-tahun berikutnya. Pikiranku
sudah penuh oleh jerit parau dari masyarakat Auyu menyelingi kengerian mesin
dan roda-roda yang terus bergerak, serta batang pohon yang ambruk setelah
berjam-jam disayat dan dibuntungi. Anehnya, kami sama sekali tak berdaya, hanya
melawan dengan sisa jeritan yang hampir habis, dan perih berkerak di liang
batin.
Perlahan, aku dipaksa
untuk memahami keadaan lebih dalam. Mencampuri obrolan orang-orang dewasa lewat
bilik yang sedikit terbuka. Bapakku orang yang paling cerdas di antara mereka.
Bapak jarang menimpali obrolan, tetapi jika sudah berucap, kata-kata itu bagai
sebuah tontonan film pembunuhan yang membuat setiap orang menegakkan posisi
duduknya. Bapak bilang;
“mereka mau jadikan
lahan hutan sebagai kebun sawit. Sawit itu bisa buat mereka kaya. Harganya naik
terus sepanjang tahun.”
“kita harus lawan.
Mereka tak paham adat.”
“bukan cuma tak paham,
tapi memang tak peduli.”
***
Orang-orang kota itu
tidak datang hanya dengan senjata, militer, dan alat-alat berat. Tapi juga
setumpuk persoalan baru yang mengusik kedamaian otak kami. Selama ini, Auyu tak
kenal uang. Makanan tersaji begitu saja di belantara. Lalu kami berburu babi,
kijang, menombak ikan, menggali tanah, dan mencabut akar singkong. Semua
didapat tanpa harus menggunakan uang. Mereka juga mengajar membaca dan berhitung.
Semacam sekolah, tapi lebih primitif dari yang kau bayangkan. Termasuk kata
primitif juga bagian dari hasil belajar, sebelumnya mana pernah kami
mempermasalahkan soal bisa membaca atau tidak, soal berperadaban atau tidak.
Semua mengalir dengan damai, tapi di sisi lain – bertentangan dengan pandangan
suku Auyu kebanyakan – Bapak menyuruhku belajar dengan giat. Orang-orang pintar
dari kota tak bisa dilawan dengan senjata, mereka terlalu kuat. Harus dilawan
dengan hukum. Karena itulah, aku belajar di Sentani. Meninggalkan ibu dan
bapak.
Aku tinggal di kaki
pegunungan Cycloops. Sesuai dengan keinginan bapak, di sini aku belajar. Aku
mengamati kehidupan kota yang lebih ramai dari kampungku. Akses pendidikan
lebih mudah, begitu pun air bersih dan penerangan. Ternyata meninggalkan
kampung halaman untuk belajar, bukan pilihan hidup yang aku inginkan. Semakin
aku belajar, justru semakin aku menyerah pasrah pada keadaan. Aku tidak tahu
bagaimana wajah Auyu sekarang, sudah setahun belakangan bapak tak berkabar soal
hutan adat. Bapak lebih senang membahas sekolahku. Aku makin rajin belajar,
sekaligus makin ciut nyali untuk balik ke kampung.
Ada tiga orang jahat
dalam pandanganku. Pertama, para pemilik modal, yang punya banyak uang untuk
membeli alat-alat berat, dan membayar upah pekerja. Kedua, Amerika Serikat,
yang merampok gundukan emas di Papua. Dan yang ketiga, pemerintah pusat dan
antek-antek di bawahnya. Jika membayangkan betapa solid kerjasama mereka
menghancurkan surga Papua, aku semakin bergidik, merasa kecil, dan lemah tanpa
daya. Aku seperti Daud menghadapi Goliath. Mungkin lebih parah lagi. Sebab pada
akhirnya Daud menang, dan aku tidak melihat peluang yang sama terjadi pada
bangsaku. Mana mungkin bisa menang melawan korporasi kebiadaban sedahsyat itu.
Mula-mula aku mencari
kawan –masih dengan debar-debur semangat yang tak jelas besarannya—sulit juga
berdampingan dengan orang-orang yang sudah kenal uang. Mereka akan menilai,
menimbang-nimbang, dan apa pula pedulinya melestarikan alam.
“Zaman su berubah. Jangan mati konyol hanya demi bela adat.”
“Ko tahu si Thobias
Mote? Dia hilang tahun 90-an. Sama seperti ko, aktivis pejuang, ancaman buat
NKRI.”
Aku gagal mendapat kawan.
Aku hanya punya bapak,
yang dengan setia menanti aku tumbuh menjadi orang pintar, yang memahami hukum.
Enam bulan lagi aku akan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Aku
akan belajar bagaimana hukum bekerja membenahi kekejaman di Papua. Aku akan
pindah ke kota. Sesekali aku akan ikut unjuk rasa menuntut keadilan. Aku juga
akan mampir ke perpustakaan untuk belajar teori-teori kritis. Aku akan melahap
semua itu sampai tubuh dan jiwaku bagai sebuah butir peluru yang siap menembus
jantung kebiadaban orang-orang jahat di Papua.
Bapak tak pernah salah
menyuruhku belajar dengan susah payah. Tapi bapak salah atas pandangannya
tentang hukum. Berkali orang Papua belajar hukum, berkali juga mental. Bahkan
ketika mereka menggugat Indonesia di parlemen internasional, tetap tak
membuahkan hasil. Otonomi khusus tak sepenuhnya diberikan, orang-orang pusat
itu berpikir Papua takkan mampu setara dengan daerah lain, padahal mereka
sendiri tak mau Papua merdeka dari belenggu NKRI.
Aku harus belajar ilmu
ekonomi. Lalu, menghancurkan sistem kapitalisme global. Tapi kalau itu
kulakukan, tetap tidak akan mengubah struktur kekuasaan yang serakah. Aku harus
belajar politik, tapi tentu tidak akan membuatku punya kesempatan sebagai
bupati. Orang-orang tahu siapa bapakku, apa margaku, dan hendak jadi apa aku di
masa depan. Bapak bilang dalam suratnya;
“kalau terbang ke kota
nanti—apalagi dengan Garuda—jangan terima makanan atau minuman dari mereka.
Nanti ko bisa mati diracun seperti Munir.”
Maka, aku tetap belajar
ilmu hukum. Belajar apa saja, yang penting pulang dari kota, aku telah siap
sebagai sebutir peluru.
***
Bulan
Maret, 2019
Aku menerima surat dari
bapak. Kukeringkan jemari yang basah oleh tetes gerimis di luar rumah. Lalu kusobek
amplopnya dengan perlahan. Tanganku berhenti bergerak sebelum menuntaskan
sobekan, tepat ketika kudengar bunyi aneh di belakangku. Kuintip dari celah
bambu. Suara itu bergemuruh dari jauh. Sedetik kemudian kulihat orang-orang
dari atas bukit mulai berlarian, tergopoh-gopoh memapah dirinya. Suara itu
semakin mendekat disertai gelombang air yang melesak turun begitu cepat.
Kakiku diam tak
bergeming seolah terpaku pada tanah. Air bah melesak lebih cepat menerobos apa
saja yang menghalangi. Kemudian dengan ganas melahap pandanganku. Aku terpental
tak berdaya dilumat gelombang air. Surat dari bapak lepas berenang mengikuti
irama air yang tumpang tindih. Tubuhku melayang-layang dibawa arus sebelum
sebongkah benda keras menghantam kepalaku. Aku tidak tahu benda apa itu, tapi
yang jelas pandanganku mulai mengabur, tenagaku habis, dan dadaku serasa mau
meledak.
Di penghujung nafas itulah,
aku melihat wajah bapak menggeliat berenang mengikuti arus air. Wajah kehilangan
harapan, wajah yang sama ketika ia menyaksikan hutan adat digunduli. Mataku
mulai terpejam, tak ada lagi wajah bapak. Aku mulai takut, besok memori
penderitaan akan bertambah lagi di kepala bapak. Aku tidak tahu, perjuangan
seperti apa yang akan bapak lalui setelah ini.
***
Komentar
Posting Komentar