Sekapur Sirih tentang Bagaimana Mengakhiri Kebodohan Semacam Ini?


 


Dalam proses kebudayaan manusia, era digital menyuguhkan pola hidup baru yang melampaui kondisi zaman sebelum kita mengenal teknologi. Pola hidup yang jauh lebih mudah, efektif, disertai dengan bergulirnya informasi –yang tidak hanya cepat, tetapi juga liar- membentuk suatu masyarakat digital. Dan seperti fenomena kebudayaan yang selama ini berlangsung, selalu ada saja masalah baru yang patut diceritakan. Dalam konteks sastra, kita mengenalnya sebagai muara penciptaan suatu karya: mendramatisasi isu yang berkembang di tengah masyarakat. Menariknya, penulisan karya sastra (katakanlah cerpen) dengan tema era digital, mengkonstruksi corak baru yang tidak lagi terkungkung pada situasi sosial suku tertentu, melainkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang disatukan dalam terminologi ‘masyarakat digital’.

Menyadari pentingnya mempotret realita di era digital, kumpulan cerpen Bagaimana Mengakhiri Kebodohan Semacam Ini hadir sebagai sebuah apresiasi kepada 25 cerita terbaik dalam sayembara cipta cerpen HIMAPY YARSI 2022. Ke-25 cerpen ini ditulis oleh generasi Z (kategori pelajar dan mahasiswa), plus 1 cerpen sebagai bonus karya lama saya, berjudul Kandas (mohon maaf saya tidak cukup kreatif menulis cerpen bertema digital).

Pada perjalanannya, tidak mudah menilai cerita garapan anak muda, yang memang masih jauh dari matang, tetapi ledakan kreativitasnya patut diacungi jempol. Menulis cerpen bertema ‘era digital’ memang bukan hal gampang. Meskipun tema ini dekat sekali dengan kehidupan kita, dan sangat banyak isu yang bisa digarap, tetapi menulis cerita tetaplah pekerjaan seni yang melibatkan pikiran dan perasaan. Beberapa tulisan gagal merajut keduanya sehingga menjadi karya sastra yang jauh dari kata ‘enak dibaca’.

Cerpen-cerpen yang masuk meja redaksi umumnya masih terjebak pada gaya penulisan nonfiksi. Sementara cerpen adalah jenis tulisan fiksi ‘tulen’. Beberapa masih menyuguhkan gaya bertutur yang menggurui, dan lempeng-lempeng saja. Tidak ada akrobat kata-kata yang menimbulkan kesan (impresi) ketika membacanya.

Begitu pun dari segi cerita, jarang sekali yang mampu mengembangkan alur cerita secara mulus. Meski sudah berani untuk menjungkirbalik ide cerita, tetapi beberapa bagian malah berlubang, gagap logika, dan tidak menggiurkan untuk dibaca sampai tuntas.

Dua unsur tadi: gaya bahasa dan cerita, adalah nyawanya sebuah cerpen, yang sebetulnya bisa diselamatkan jika ada satu unsur penguat. Istilah sederhannya: “oke lah, cerita dan gaya bahasanya biasa-biasa ajah, tapi ada satu unsur yang menguatkan”, yaitu penokohan. Namun, unsur ini justru yang paling sulit untuk dikembangkan. Alhasil memang dari sekian cerpen yang masuk, penokohannya masih kurang kuat. Sepintas lalu saja, dan barangkali memang tidak dipikirkan juga mau mengkonstruksi tokoh yang seperti apa.

Dewan juri telah memilih tiga naskah terbaik dalam sayembara ini. Di tempat ketiga, cerpen Perasaan Manusia itu Berharga karangan Cristabel tampak kuat membangun karakter selebgram, yang memiliki konflik cukup serius dengan guru barunya. Ada sisi entertaint dalam cerpen ini, dan terlihat adanya upaya memperhatikan detail-detail penting yang menjalin isi cerita. Hanya saja, konflik utama masih terkesan ‘mengada-ada’, ala FTV sekali.

Cerpen lain, yang patut diapresiasi, dan memperoleh tempat kedua yaitu Sally Hanya Perlu Dimaafkan karya A. Rojak. Seperti judulnya, cerpen ini berfokus pada tokoh Sally. Dalam cerpennya, Rojak mengukuhkan eksistensi fenomena CFW (Citayam Fashion Week), yang lekat dengan dunia glamor dan menjadi bagian dari sisi kehidupan masyarakat urban. Tak sampai di situ, cerpen ini dipoles dengan hubungan rumit antara orang tua dan anak, juga antara Sally dan kekasihnya. Apologia/pemaafan menjadi jalan tengah dari kerumitan tersebut.

Jika cerpen yang baik, mensyarakatkan adanya unsur cerita, tokoh, dan gaya bahasa yang matang, maka Bagaimana Mengakhiri Kebodohan Semacam Ini? Menjadi satu-satunya cerpen yang memenuhi kualifikasi tersebut. Tak ayal, cerpen ini memperoleh poin yang jauh di atas peringkat kedua dan ketiga. Cerpen yang ditulis oleh Norilla ini tidak hanya lihai dalam menggali ide cerita, akan tetapi juga mengeksekusinya sebagai sebuah cerita utuh yang dapat dibaca sekali duduk. Dari awal penceritaan, Norilla sudah berhasil menyuguhkan teror dalam cerpen ini, yang tentu, sangat sayang untuk tidak dibaca sampai tuntas. Bagaimana bisa, seseorang yang telah mati, kemudian menulis surat yang dialamatkan kepada sosok laki-laki yang terlibat dalam pembunuhan itu.

Cerpen Norilla sama juga dengan yang lain, merepresentasikan fenomena bullying, dan betapa mengerikannya suatu informasi yang viral. Hanya saja, Norilla tahu, bagaimana mesti mendekonstruksi tema cerita (lomba), dan bagaimana melibatkan perasaan di setiap bagian cerpen, seperti pada salah satu bagian awal cerita berikut.

Mungkin kedengarannya begitu mengerikan sebab seseorang yang telah mati masih meninggalkan pesan. Tapi, Anhar, percayalah. Kematianku berhubungan erat denganmu dan musabab kematianku berkelindan akan kisahmu.

 

Membaca kutipan di atas, rasanya sudah cukup untuk membuat –siapa pun dewan jurinya- bergumam: “ini dia juaranya!”

 

 

Heri Samtani

Dewan Juri Cipta Cerpen HIMAPY 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Tips Tembus Blokade LPDP

Laporan Pertanggungjawaban Juri Lomba Cipta Cerpen FLS Kota Depok

GET TO KNOW : READING SLUMP